Powered by Blogger.
Home » » Sejarah orang-orang Tionghoa di Indonesia

Sejarah orang-orang Tionghoa di Indonesia

Perpustakaan sejarah tertulis Indonesia banyak terdapat dari tulisan-tulisan orang Tionghoa, sumber-sumber Tionghoa ini bersama sumber-sumber dalam negeri dan catatan-catatan baba/peranakan jaman dahulu memungkinkan para sejarahwan untuk menyusun kembali sejarah kerajaan-kerajaan dari zaman pra-Islam di Indonesia yang meliputi beberapa kerajaan penting. Seorang anonimis telah menulis dalam surat kabar Republik, 3 februari 1960 berjudul “sebuah Matarantai Hubungan antara Tiongkok dan Indonesia Purba”, dalam hubungan dengan jasa para kelana Tiongkok dalam memberikan keterangan keterangan tentang Indonesia purba ini bahwa: “Meskipun kebudayaan Tionghoa tidak membawa pengaruh secara demikian rupa sehingga melahirkan bangunan-bangunan monumental seperti candi-candi Borobudur, Prambanan, dan sebagainya tapi penulis-penulis dan tamu-tamu dari Tiongkok telah membangunkan sebuah monumen sejarah penting bagi Indonesia, merupahkan tulisan-tulisan tentang Indonesia.



Dilihat dari perspektif sejarah dan budaya, maka tulisan-tulisan orang-orang Tionghoa tentang Indonesia dijaman kuno itu tidak kalah pentingnya dari candi-candi Borobudur, Prambanan atau Sewu (Pramoedya Ananta Toer).

Di Website dari harian The Jakarta Post,http://www.thejakartapost.com:8890/pr... :Members Area, chusus untuk memberi informasi buat researchers and Indonesianists, tertulis dalam Brief history of Indonesia:”although hundreds of ethnic groups have been known as the indigenous of Indonesia for hundreds and thousands of years, Indonesia did not exist in its present form until the turn of the 20th century. Of the so called natives of Indonesia, archeologists have speculated that the first people to populate Indonesia migrated from mainland China some 1000 years ago and inhabited a stretch of islands along the equator, later known as Nusantara.” memang jelas orang2 Tionghoa lain halnya dengan Belanda, Perancis, Portugis dan Ingeris mereka datang ke Nan-Yang ( South-East Asia, Lautan selatan) tanpa membawah senjata untuk menjajah, namun mereka datang untuk mencari untuk hidup lebih sejaterah.

Marilah kita membicarakan secara ringkas mengenai sejarah orang-orang Tionghoa di Indonesia. Untuk ini saya membagi sejarah orang-orang Tionghoa Indonesia menjadi tiga periode:

1. Periode sebelon orang-oran Belanda datang ke Indonesia
2. Periode sesudah datangnya orang-orang Belanda, semasa periode Verenigde Oost-Indische Compagnie (Kompeni Hindia Timur)

3. Periode sesudah lengsernya V.O.C. chususnya sejak permulaan abad keduapuluh.



Periode sebelon orang-orang Belanda datang ke Indonesia

Kalau kita membicarakan sejarah Indonesia kuno, perpustakaan yang ada terutama dibuat oleh sejarawan sejarawan Tionghoa. Dari tulisan-tulisan sejarawan-sejarahwan Tionghoa ini lalu di pelajari dan di analisa terutama oleh sejarahwan- sejarahwan Belanda dan intelectual- intelectual Tionghoa di Indonesia, belakangan ini juga oleh sejarahwan- sejarahwan Australia. Perpustakaan yang paling kuno mengenai hubungan Tiongkok dengan Indonesia ditulis oleh orang-orang Tionghoa sendiri. Mereka mengatakan orang Tionghoa pertama yang mengunjungi Indonesia (Jawa) ialah seorang Buddhist bernama Fa-Hsien pada tahun 414 sekembalinya dari perjalanan beliau ke India untuk mengambil naskah2 Buddha, karena terserang badai taufan kapalnya terdampar di sebuah negara yang namanya Yeh-Po-ti. Disini terdapat catatan-catatan dengan namaYawadwi(pa), nama ini dianggap oleh banyak ahli-ahli Indonesia sebagai nama kuno dari Jawa. Tetapi ada beberapa penulis yang mengatakan namaYawadwipa itu adalah Sumatra. Fa Shien tingal di jawa selama 5-6 bulan, dari bulan desember sampai bulan mei. Dalam catatannya beliau tidak ketemu dengan orang-orang sebangsanya, juga didaerah sekitarnya. Namun kalau kita analisa memang tidak mungkin Fa Shien dalam jangka waktu 5 a 6 bulan bisa bepergian keseluruh Jawa, apalagi waktu itu perjalanan tidak mudah dan jalanan sangat buruk melalui hutan yang lebat dan bahaya. Namun jelaslah bahwa didaerah dimana Fa Shien tinggal tidak ada tempat-tempat tinggal orang-orang Tionghoa.

Berita-berita dari berbagai dynastie Tiongkok tertulis adanya hubungan dagang antara Tiongkok dengan pulau-pulau dari Nusantara. Mona Lohanda dalam buku disertasinya menulis:” menurut data-data Tionghoa bahwa sewaktu armada Belanda dibawah Cornelis de Houtman berlabuh disebuah pelabuan kecil di Jakarta pada tanggal 13 november 1596, dia menemukan sebuah kampong dipantai selatan dekat sungai ciliwung sudah ditinggali orang-orang Tionghoa yang bercocok tanam beras dan membuat arak. Orang-orang Tionghoa ini diberi tanah oleh pangeran Wijaya Krama, “de koning van Jakarta” yang memerintah kesultanan Bantam. Hubungan yang erat antara orang Tionghoa dan kerajaan-kerajaan Indonesia sudah terdapat pada pertengahan abad IX.

Orang-orang Tionghoa menetap di Jawa mendirikan dan memperkembangkan kota-kota pelabuhan penting di pantai utara seperti Gersik, Tuban dan Surabaya. Mereka adalah pioneers pertama dari emigran-emigran Tionghoa ke Nan-Yang (Lautan Selatan). Orang-orang Tionghoa ini kemudian berkawin campuran dengan wanita-wanita pribumi. Banyak diantara anak-anak mereka ini memeluk agama islam dan banyak diantara mereka ini yang menikah dengan anak-anak wanita dari famili-famili kerajaan. Elite pemerintahan dari kota-kota pelabuhan di Jawa terdiri dari famili-famili dengan darah campuran, kebanyakan Sino-Javanese dan Indo-Javanese. Tulisan-tulisan melayu (The Malay Annals) dari Semarang dan Cerbon mengatakan bahwa nenek-moyang dari kerajaan islam Demak dan Cheribon adalah keturunan Tionghoa.

Sinolog Perancis kenamaan Pelliot menyimpulkan sesudahnya beliau menerjemahkan Chien Han Shu bahwa dijaman dinasti Han (206 B.C-24) sudah ada hubungan dagang antara Tiongkok dan Indonesia.

Dalam tahun 922 menurut tulisan-tulisan dari Sung dinasti (960-1276) ada seorang pedagang Tionghoa kaya yang berkunjung ke Indonesia dengan banyak kapal-kapal laut untuk berdagang dengan Nusantara. Pada waktu itu sudah ada hubungan dagang yang teratur dan actif antara Tiongkok dengan berbagai pulau dari Nusantara. Para pedagang Tionghoa yang datang di Jawa disambut dengan baik sebagai tamu agung dalam gedung-gedung pertemuan umum dan dijamu dengan makan dan minuman yang berlimpa dan bersih. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa mereka ditrima dengan senang hati di Jawa. Pusat perdagangan orang-orang Tionghoa pada waktu itu adalah Jepara. Pusat lain mungkin adalah Pekalongan.

Barang-barang dagangan orang-orang Tionghoa pada itu waktu tinggi mutunya dan terdiri atas sutera, bahan sutera, porselin, barang-barang lak, barang-barang tembaga, kertas, obat-obatan, gula dan barang-barang kerajinan tangan mewah. Barang-barang ini ditukarkan dengan barang-barang hasil bumi Indonesia seperti cengkeh, pala, bunga pala, lada, kayu cendana, kayu besi, emas, batu permata, barang-barang kering, obat-obatan, pula barang-barang aneh dan bagus (seperti burung, kulit penyuh), sarang burung dan timah. Dari tulisan Chau Ju-Kua, jakni Chu-Fan-Chih ternyata bahwa orang-orang Tionghoa mengunakan uang tembaga Tiongkok yakni “cassy”atau uang “kepeng” yang terkenal sebagai alat pembayaran., karena penduduk pribumi belum mempergunakan uang sebagai alat pembayaran, maka uang kepeng itu dipakai untuk tujuan keagamaan. Kemudian uang kepeng ini dipakai sebagai alat pembayaran oleh orang-orang Jawa. Karena adanya perdagangan yang reguler dan export uang kepeng yang bercontinuan menyebabkan kesulitan lalu lintas keuangan di Tiongkok sendiri. Keramik2 dari dinasti Han hasil penemuan Orsoy de Flines pada tahun 1936 di ujung Banten Barat, membuktikan anggapan bahwa orang-orang Tionghoa sekitar awal tanggalan Masehi telah berada di Jawa. Ini membuktikan pula bahwa sebelon Fa Shien sudah adanya orang-orang Tionghoa yang tinggal di kepulauan Indonesia. Benda2 ini sama dengan benda-benda yang ditemukan dalam kuburan-kuburan Tiongkok dijaman Han. Orsoy de Flines menyimpulkan bahwa benda2 tsb. dikubur bersama pemiliknya bukan bangsa lain kecuali orang-orang Tionghoa, dan kemungkinan besar adalah orang-orang Tionghoa yang menetap di negara itu. Karena hidupnya perdagangan ini maka di Kanton pada tahun 971 dibuka kantor pelayaran perdagangan dan kemudian ditempat-tampat lain dibuka lagi kantor-kantor pelayaran seperti tiu.

Orang orang Tionghoa tidak saja berdagang dengan orang-orang Jawa namun juga dengan orang-orang Sumatra. Kira2 pada tahun 1400 terdapat pusat2 perdagangan di pantai-pantai Sumatra yang merupahkan jalan perdagangan untuk ke negara negara Arab melalui laut. Disamping itu pada tahun 1411 terdapat banyak pusat2 perdagangan Tionghoa di Jawa Timur seperti di Surabaya, Gersik, Toeban dan di Jawa Tengah Jepara, Lasem dan di Jawa Barat di Bantam dan Kelapa (Jacatra) etc. Dapat kami simpulkan bahwa sebelonnya kedatangan VOC orang-orang Tionghoa terutama terdapat di pantai-pantai dimana terdapat pusat- pusat perdagangan dan di pedalaman keadaan masih belon memunkinkan untuk perdagangan. Fungsi orang-orang Tionghoa yang bermukim di Jawa dan Sumatra pada masa itu terutama merupahkan sebagai perantara dalam penukaran barang-barang dagangan Jawa/Sumatra dan Tiongkok, jelaslah bahwa kesibukan perdagangan mereka terutama di daerah pantai-pantai. Mereka mengimport barang barang Tiongkok dan mengexport barang Jawa/Sumatra. Kita akan melihat perobahan fungsi pedagang-pedagang Tionghoa sesudah kedatangan VOC.

Pada periode sesudah kedatangan orang orang Belanda mereka terutama berfungsi sebagai perantara, mereka membeli produk2 pertanian Jawa untuk di jual kepada pedagang besar Belanda dan orang-orang asing lainnya. Kesibukan perdagangan saudagar-saudagar Tionghoa pada masa sesudah kedatangan orang-orang Belanda teruma berada di pedalaman. Untuk dapat mengerjakan ini dengan baik maka mulai banyak orang-orang Tionghoa yang tinggal dipedalaman terutama sesudah dicabutnya surat pas oleh pemerintah Belanda bagi orang Tionghoa untuk bebas bepergian keluar dari daerah dimana mereka harus tinggal yang disebut Chinese wijk atau Petjinan.

Dapat kita simpulkan bahwa sebelon kedatangan orang-orang Belanda dan Inggris ke Indonesia hubungan orang-orang Tionghoa dengan orang-orang pribumi baik sekali dan tidak ada persoalan-persoalan yang berarti. Menurut buku-buku yang saya punya ada tanda-tanda yang jelas bahwa wali Songo, bukan orang pribumi (Wali adalah bahasa Arab dan berarti orang suci, songo artinya sembilan dalam bahasa Jawa). Tetapi menurut cerita2 orang-orang tua yang saya jumpai mengatakan bahwa enam, bahkan ada yang mengatakan delapan dari sembilan wali yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di Jawa itu adalah orang-orang Tionghoa dengan gelar Sunan. Mereka mengatakan bahwa Su berarti Suhu (guru dalam bahasa Hokkian, artinya orang yang dihormati menurut kultur Tionghoa) dan Nan berarti selatan. Adapun aliran islam yang mereka sebarkan adalah aliran Islam-Hanafi. Wali yang ke sembilan bergelar Syeh dari bahasa Sheik dan tergolong aliran Syiít. Tentang ini saya kira perlu selidiki lebih lanjut.

Negara Islam yang paling penting di wilayah pantai utara Jawa pada awal abad XVI adalah Demak. Pada masa itu Demak merupahkan pelabuhan laut yang baik. Ada bukti-bukti yang kuat bahwa kerajaan Demak didirikan pada perempat achir abad XV oleh seorang asing yang beragama Islam, orang itu bernama Cek Ko-po. Putranya diberi nama oleh orang-orang Portugis Rodim (mungkin Badruddin atau Kamaruddin). Putra Rodim, atau mungkin adiknya adalah orang yang menegakkan hegemoni Demak di Jawa. Dia dikenal dengan nama sultan Trenggana. Trenggana memerintah Demak dua kali sekitar tahun 1505-18 dan kemudian sekitar 1521-46; mungkin diantara dua masa pemerintahan tersebut diisi oleh iparnya, raja Yunus dari Jepara. Trenggana mengatur pengeluasan pengaruh Demak ke arah timur dan barat, dan selama masa pemerintahannya yang kedua kerajaan Hindu-Buddha yang terachir di Jawa timur runtuh sekitar tahun 1527. Demak digambarkan sebagai pengganti langsung Majapahit.

Menurut dokumen-dokumen Tionghoa pelabuhan Gresik didirikan oleh seorang Tionghoa pada abad XIV. Pada tahun1411 penguasa Gresik yang pertama aslinya adalah seorang penduduk Kanton. Gresik menjadi sebuah pusat perdagangan internasional yang besar pada abad XV. Orang Barat mengatakan kota pelabuhan “permata Jawa”, kota ini juga menjadi sebuah pusat agama Islam yang besar yang letaknya dekat markas besar Sunan Giri yang pertama yang dianggap sebagai salah seorang dari kesembilan wali yang tersebar.



Periode waktu kedatangan orang-orang Belanda (V.O.C.)



VOC adalah satu perkumpulan dagang Belanda yang diberdirikan pada tahun 1602 oleh de Staten Generaal. VOC mendapatkan dari pemerintah monopoli perdagangan dengan Indonesia. Institusi ini sangat berkuasa dan mendapatkan hak untuk menentukan peperangan dan membuat perjanjian-perjanjian. Institut perdagangan Belanda yang berkuasa ini ditutup pada tahun 1800.

Kalau kita membaca sejarah orang Tionghoa di Indonesia pada jaman VOC (Verenigde Oostindische Compagnie), boleh dikatakan bahwa orang Tionghoa pada waktu itu oleh penguasa VOC diberi prioritet, karenanya mereka bisa kaya. Namun kalau kita menganalisa se-dalam2nya situasi yang sebenarnya dari buku2 yang saya baca dapatlah disimpulkan bahwa keadaan orang-orang Tionghoa sewaktu VOC datang di Hindia, mereka sudah melihat orang-orang Tionghoa adalah saudagar saudagar yang kaya raya. Dapatlah disimpulkan bahwa orang-orang Belanda berpendapat bahwa orang-orang Tionghoa adalah saudagar-saudagar yang harus mereka ajak bekerja sama. Jadi keadaan yang sebenarnya adalah saling tergantunganya kedua golongan ini untuk memperkembangkan perdagangan mereka.

Orang-orang Tionghoa sudah ada di Indonesia sebagai pedagang selama berabad-abad sebelon V.O.C. , bahkan sejak tahun 1619 mereka sudah menjadi suatu bagian yang penting dari perekonomian Batavia. Di Sana mereka aktif sebagai pedagang, tukang tukang yang terampil (skill labourers), tukang kayu, pembangun rumah, menggali tanah untuk membuat sungai, ahli dalam cocok tanam (dahulu orang Jawa menanam beras di ladang, orang Tionghoa mengajar menanam beras disawah dan penghasilannya, produksinya besar), penggiling tebu, pembuat arak, dan pengusaha toko etc.. Dan pada periode pemerintahan Inggeris (1811-6) kira-kira 24 % dari jumblah penduduk di dalam kota dan daerah-daerah pinggiran adalah orang-orang Tionghoa. Heeren XVII di Amsterdam (penguasa tertinggi V.O.C.) mengagumi industri dan kepandaian orang-orang Tionghoa. Di Molenvliet ada kanal yang digali pada tahun 1648 oleh kapten Tionghoa, Phoa Bing (H)am, untuk menhanyutkan kayu-kayu dan barang2 dagangan lainya dari daerah-daerah ke kota. Penggaliannya dimulai dari Harmoni dan berachir di pos keamanan “Bantenburg” yang letaknya kira-kira didepan Glodok (pecinan) sekarang. Setelah adanya kanal tersebut di sepanjang kedua tepinya dari utara ke selatan bermunculan bangunan-bangunan gedung-gedung indah, dan perdagangan didaerah itu menjadi ramai.

Orang-orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia ituwaktu sudah berdagang dengan Tiongkok dalam banyak bidang, porcelin, sutra, teh, bahan-bahan untuk menyeduh teh, obat-obatan d.l.l. Sedari permulaan berdirinya Batavia orang-orang Tionghoa, kebanyakan buruh-buruh dianjurkan untuk datang dan tinggal didalam kota dengan maksud membangun kota Batavia dan mengerjakan tanah di ommelanden (daerah-daerah disekitar kota). Dengan banyaknya orang Tionghoa yang berdatangan dengan sendirinya tambah berkembanglah perdagangan orang Tionghoa di kota yang baru diberdirikan itu. Pedagang-pedagang ini memajukan perdagangan dengan negara leluhurnya, dengan perkembangan perdagangan, jumblah pedagang Tionghoa semakin besar jumblahnya, dan VOC tidak bisa menghiraukan lagi keberadaan orang-orang Tionghoa untuk menyelamatkan kepentingan financial V.O.C., dan perkembangkan perdagangan VOC di-Asia, dengan sendirinya ini akan menguatkan kedudukan VOC di Indonesia.

Pada achir abad ke tujubelas perdagangan VOC terutama tergantung sepenuhnya dari Tiongkok dan kesejasteraan (prosperity) dari Batavia pada masa itu dapat dikatakan tergantung dari hubungan perdagangan Tionghoa inter-Asia.

Dijaman VOC orang Tionghoa datang ke Hindia kebanyakan sebagi kuli kontrak, mereka dimuat di kapal-kapal saudagar-saudagar Tionghoa dan dikontrakkan dipasaran Batavia. Biasanya sesudah satu atau dua tahun kuli-kuli ini menjadi pekerja bebas. Pelahan-pelahan karena mereka berani bekerja berat, berinisiatif dan mengirit dalam penghidupannya, mereka bisa membuka toko atau pedagang. Diantara orang-orang ini bahkan tidak sedikit yang kemudian menjadi kaya. Diantara mereka ini ada yang memberanikan diri berusaha dalam bidang pertanian dan industri seperti penanaman padi, tebu, membuka pabrik gula, pabrik arak, pengusaha kayu dan sebagainya. Satu ketika mereka menjadi pemilik perusahaan dagang dengan jaringan produksi antar pulau serta fasilitas distribusi yang diperlukan oleh VOC atau bagi perdagangan mereka sendiri. Ada yang membangun rumah-rumah mewah bergaya Tionghoa atau Belanda.

Jumblah wanita-wanita Tionghoa sangat kurang berhubung mereka dilarang ikut beremigrasi ke Hindia Belanda oleh pemerintah kerajaan Qing (Manchu). Imigran-imigran lelakiTionghoa ini menika dengan orang-orang Jawa, di Jakarta dengan orang-orang Sunda, dengan demikian berkembangbiaklah orang Tionghoa di Indonesia. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran ini dinamakan Peranakan atau Baba. Kalau kita analisa sejarah orang Tionghoa dapat kita simpulkan bahwa perkembangan penduduk Tionghoa baik dalam numerik maupun kultur di Indonesia, jasa wanita-wanita Indonesia memainkan peranan yang besar. Kemungkinan dalam statistik pada jaman dulu wanita-wanita pribumi yang menika dengan orang Tionghoa dihitung dalam golongan Tionghoa.

Kemudian atas permintahan pemerintah Inggris diMalaya pada pemerintahan Qing, agar wanita-wanita Tionghoa diperblehkan keluar negeri, agar imigran-imigran Tionghoa bisa tinggal dengan tenang diMalaya. Dengan kedatangan wanita-wanita Tionghoa yang mencukupi permintaan para pemuda Tionghoa serbagai partner hidupnya, timbullah dua golongan orang Tionghoa diHindia Belanda yaitu: Peranakan dan Totok. Yang terachir masih kuat orientasinya ke Tiongkok, menika dengan wanita yang sekota, atau sedesa diTiongkok, bicara dirumah dalam bahasa dialek asal mereka datang dari Tiongkok, masih mempunyai keluarga disana dan disekolahkan disekolah Tionghoa.

saya senario diatas mungkin bisa menjawab mengapa imigran-imigran Tionghoa dulu ke California, USA atau ke Canada kebanyakan dari mereka itu sesudah bekerja beberapa tahun di USA dan Canada kembali lagi ke Tiongkok, sala satu faktor mungkin karena mereka tidak kawin dengan orang-orang Eropa, mereka berasa kesepian tanpa keluarga, karenanya kebanyakan dari orang-orang Tionghoa itu kembali lagi ke daratan Tiongkok.

Pemerintah Belanda membedahkan antar berbagai bangsa yang ada diHindia Belanda itu waktu, setiap golongan diperbolehkan tinggal didaerah yang chusus bagi mereka. Dibawah ini adalah pembagian golongan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah jaman dulu bagi penduduk Hindia Belanda:

1. Kelompok orang Eropa, termasuk orang Indo-Belanda

2. Kelompok orang Timur Asing , disini dimaksud orang-orang asing asal Asia seperti orang Tionghoa, orang Jepang, orang Arab, orang India, etc. dan

3. Pribumi, atau kelompok inlander.

Ordonansi dari pemerintah mengenai ketiga kelompok tersebut diatas, membuat kelompok-kelompok ini tunduk kepada undang-undang yan berbeda-beda bagi kelompok-kelompak itu. Namun demikian pembagian antar ras ini membuat kelompok-kelompok itu menjadi sadar atas kebangsaannya dan adanya berbagai ras di Hindia Belanda dan dengan lain perkataan mempertajam perbedahan antar berbagai etnis.

Dibanding dengan golongan ras yang lain orang Tionghoa dikurangi kebebasan untuk bepergian, tidak boleh tinggal diluar daerah yang ditetapkan oleh Belanda (Petjinan), kalau mereka akan keluar dari daerah Pecinan, mereka harus minta surat jalan, pas jalan dimana ditulis presis kemana dan ditetapkan jamnya untuk kembali ke daerahnya. Bagi pedagang ini mempersulit kebebasan mereka untuk jual dan beli barang untuk stok (persediaan). Pula orang Tionghia dikenakan berbagai macam pajak.

Orang Tionghoa mempunyai kultur yang konservatif dalam perkawinan,dan sebisanya mereka kawin dengan golongannya sendiri. Sesudah cukupnya jumblah wanita-wanita peranakan mereka kemudian menika dengan golongannya sendiri. Tanpa wanita-wanita pribumi yang menika dengan orang-orang Tionghoa jumblah penduduk Tionghoa tidak akan ada seperti yang sekarang ini ialah berjumblah kira-kira enam juta, 3% dari penduduk Indonesia yang duaratus juta itu.

Orang Tionghoa yang terkemuka di Batavia pada jaman VOC ialah Souw Bing Kong, ia bermula menjadi saudagar di Banten dan atas anjuran Jan Pieterszoon Coen ( Gubernur Jenderal 1619-23, 1627-29) pindah ke Batavia. Bingkong membangun sebuah Wisma yang besar bergaya Tiongkok berdekatan dengan kastil. Coen sering berkunjung kerumahnya Bingkong untuk minum teh. Atas prakarsa Jan Pieterszoon Coen, Bing Kong diangkat menjadi kapitan Tionghoa yang pertama. Sebagai kapten dia bertanggung jawab atas pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Tionghoa. Sistim pengaturan dikerjakan oleh Bingkong dengan baik dan ditaati oleh masyarakat Tionghoa. Orang Tionghoa mengatur diri mereka dengan baik tanpa campur tangan Belanda dan masyarakat Tionghoa berkembang dengan baik sekali.

Orang Tionghoa harus membayar pajak kepala, pajak jalinan rambut panjang, pajak kuku panjang, sumbangan pekerjaan pembangunan jalan, jembatan, kanal untuk kemajuan-kemajuan umum lainnya.

Orang Tionghoa membangun rumah sakit mereka sendiri dan menjalankan dan mengurusnya sendiri. Rumah sakit orang Tionghoa sama besarnya dengan rumah sakit Belanda. Mereka juga mempunyai rumah orangtua yang sakit-sakitan, dan mengurus organisasi social mereka sedemikian baiknya, sehingga orang tidak melihat seorang Tionghoa melarat dijalanan. Orang Tionghoa mendirikan sekolah yang lebih besar dari sekolah-sekolah Belanda dan pula dalam jumblah yang lebih besar. Sekolah-sekolah itu pertama diberi nama Beng Seng Sie Wan, kemudian dikenal sebagai Gie Oh. Bahasa yang digunakan adalah bahasa dialek Hokkian dan menurut kurikulum Tiongkok. Selanjutnya mereka mendirikan rumah penampungan orang miskin dan juga kelenteng-kelenteng., balai-balai pertemuan, rumah-rumah hiburan seperti teater Tionghoa, wayang Pohtehie, restoran-restoran dan rumah pelacur untuk menghibur pemuda-pemuda yang baru datang dan belon menika, yang belakangan ini tidak disukai dan mereka bekerja secara gelap.

Pada tahun 1681 gubernur Jenderal Rijklof van Goens sakit dan tidak bisa bekerja. Beliau mengenal seorang dokter Tionghoa yang pandai bernama Chou Mei-yeh (Minnan dialect: Tsiu Bi-ya) yang dia percayai untuk mengobatinya dan meminta Chou mengantar beliau pulang ke negeri Belanda. Chou Mei-yeh tinggal setahun di Belanda dan kembali ke indonesia dengan kapal yang membawa surat pengakatan Cornelis Jansz Speelman mengantikan Rijklof sebagai gubernur Jenderal. Chou memberi selamat kepada Speelman atas pengangkatannya. Chou dianugrahi oleh VOC dengan privilege memakai payung besar dan diijinkan masuk keluar dengan leluasa ke kastil Batavia. Pada setiap gubernur jenderal sakit atau pemimpin-pemimpin tinggi lainya Chou Mei-yeh dipanggil untuk mengobati. Dengan demikian beliau diberi titel “Number One Eminent Physician”.

Oleh Belanda diharuskan setiap golongan ras mempunyai pemimpinnya sendiri yang dipilih oleh kelompoknya, mereka diangkat dan diberhentikan oleh gubernur jenderal Belanda. Mereka diberi tanggung jawab atas pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban di kampung-kampung mereka. Tetapi kepala-kepala dari golongan rasial ini tidak mempunyai gengsi dan kekuasaan dibanding dengan kapten-kapten Tionghoa.

Dijamannya Jan Pieterszoon Coen kehidupan di Hindia Belanda chususnya Batavia baik dan rukun, aman meskipun diantara mereka berbeda ras, bahasa, agama dan kultur. Mengapa orang-orang Tionghoa mempunyai kedudukan economi yang kuat dalam sejarah Indonesia dapat dikatakan adanya dua factor pada jaman VOC yang memberi impact besar dalam perkembangan posisi economi orang-orang Tionghoa di Indonesia.

1. Pertama-tama ialah penjualan-penjualan tanah-tanah perkebunan-pekebunan, (landerijen) dan pachtstelsel, yaitu sisitim yang memberi hak kekuasaan monopoli pada orang partikulir untuk menarik pajak. hak kekuasaan ini harus dibeli. Orang-orang Tionghoa melihat sistim ini dapat menguntungkan dan membelinya meskipun mahal, karena banyak yang peminatnya. Kebanyakan dari pachters ini adalah orang-orang Tionghoa kaya. Kekuasaan monopoli ini yang dijual oleh VOC umpanya : pasarpacht, kekuasaan monopoli untuk membeli produk-produk pertanian disatu distrik; monopoli untuk membuat garam dan menjualnya, hak memancing ikan, pajak tembako, penarik pajak tol jalanan-jalanan tertentu dan sebagainya.

Kekuasaan monopoli ini dijual VOC sebisanya semahal-mahalnya, kemudian para pachters ini harus menghadapi korupsi dari para controleurs. Fungsi para controleurs ini ialah untuk mengawasi para pachters ini agar bekerja dengan baik tanpa penghisapan, tetapi karena factor-factor tsb. diatas mereka baru bisa untung kalau para pachters Tionghoa ini menjual barang2 produksinya mahal atau menarik pajak yang semahal-mahalnya. Tetapi para penguasa VOC acuh tak acuh tentang keadaan yang memburuk ini dan mereka tidak berbuat sesuatu untuk menghindari kecurangan-kecurangan para pegawainya yang sangat korup ini. Keadaan rakyat yang memangnya sudah miskin menjadi makin sulit untuk mempertahankan penghidupannya. Umumnya para pachters ini bersama-sama dengan controleurs mempunyai kekuasaan yang besar terhadap desa-desa dibawa kekuasaannya. Situasi ini menyebabkan kerusuhan-kerusuhan seperti di Cheribon pada tahun 1778, 1793 dan 1802.

2. Tuan tanah yang membeli tanah diberi kekuasaan untuk menarik pajak pada orang-orang yang tinggal didaerah tanahnya yang mereka beli.

Dihentikannya sistim pachters dan penjualan tanah merupahkan satu pukulan financial bagi saudagar-saudagar Tionghoa.

Buku The Sie Siauw Yang Tjohbiauw, Soerabaja dapat dibaca sebagai berikut:”Penghidoepan teroetama dari bangsa Tionghoa di djeman doeloe di Soerabaja ada berniaga, kebanjakan sebagi soedagar-perantaraán antara soedagar-besar Europa dan pendoedoek Indonesiër. Di djeman pachter teroetama orang Tionghoalah jang menjadi pachters (orang yang membeli hak untuk menarik pajak).Blakangan orang-orang Tionghoa oesahakan djoega penggilingan beras (rijspellerijen), pembatikan, toko barang prabot roema, peroesahan anjam rotan, djoega lakoeken peroesahan lebi besar, antaranja fabriek goela.” Selanjutnya dapat kita baca dibuku tsb.:”W.P. Groeneveldt menoelis dalam iapoenja boekoe “Notes on the Malay Archipelago”, berdasar atas tjatetan-tjatetan Tionghoa koeno dalam taon 1411 Fa Hsien telah dateng di Java dan (bahkan HSH) abad ka-6 telah ada perhoeboengan jang rapet antara Java dan Tiongkok, bisa djadi banjak lebi doeloe lagi.

Dengan pasti bisa dibilang, dalam tahon 1411 di Grisee (Gresik) telah beroema soedagar-soedagar Tionghoa dan orang Belanda pertama jang sampai di ini (bagian dari HSH) Indonesia (maksudnya Gresik) telah ketemoeken orang Tionghoa di ini negri dan djoega di Soerabaja. Oost- Indische compagnie anggep perloe boeat hidoep akoer dengan bangsa Tionghoa, seperti berbagi–bagi prenta dari Holland.” Selanjutnya kita baca:”Tentoe bisa dinjataken sebagi hal loear biasa, pendoedoek Tionghoa di ini negri telah berhasil setjara begitoe bikin kagoem boeat tetepken marika poenja karakter (prangi, adat-istadat, lembaga dan kebiasaán).”

Menurut Riwayat Semarang (1416-1931, karangan Liem Thian Joe) kita dapat membaca bahwa : “dirumahnya Souw Pan Djiang, (dibelakang rumahnya ada plataran besar), seorang soedagar dan pandai silat, sering dirundingkan dengan kawan2nya bagaimana orang Tionghoa harus berusaha dan memajukan barang2 Tiongkok di Jawa. Barang2 itu terutama terdiri dari Sutra, barang2 dari tanah, kain-kain, porcelein dan sebagainya. Selain dari itu diantara soedagar2 Tionghoa yang mengumbara di ka-ini negeri tiada jarang membekal uang Tangtji, yang oleh orang2 Semarang dikenal sebagai uang Kentang, oleh orang bilangan Kedoe disebut uang Gobok. Seperti juga barang2 Tiongkok di itu waktu, itu uang Tionghoa pun banyak tersiar (tersebar, HSH) diantara anak negeri (Pribumi,HSH) dan oleh mereka dianggap sebagai uang sah. Lantaran itu uang tengahnya berlobang persegi, maka orang2 yang membekal uang tsb. dan berpergian, uang tsb. direncengin kemudian dilibatkan di pinggangnya.” Kita dapat pula membaca bahwa:“ Perdagangan Tionghoa di Semarang tetap berjalan baik, perhubungan pada (dengan, HSH) anak negeri pun manis. hingga sampai liwat bilang belas tahon zonder ada cerita penting yang terjadi dikalangan Tionghoa.-----

Orang2 Tionghoa di-Semarang punya penghidupan bertambah hari kelihatan bertambah baik, begitulah di pecinan lor, yang sekarang terkenal dengan nama Gang waroeng. Itu tempo mulai rame, karena ini tempat ada sebagai centrumnya perhubungan (dagang, HSH) buat itu masa.” Pecinan2 (daerah2 dimana orang2 Tionghoa tinggal) ini berkembang dengan pesatnya; di Jakarta pecinan2 itu adalah Glodok, Pasar Pagi, Mangga Besar, Sawah Besar, Pintu Besar dan sekitarnya. Di Semarang Gang warung, Gang Pinggir, Gang Lombok etc.. Di Surabaya, daerah Kapasan, kembang Djepun, slomprettan dan Pasar Pabean etc. Banyak burgers (penduduk) secara particulir juga berdagang dengan pedagang2 Tionghoa.

Kita dapat simpulkan dari buku2 yang kita baca bahwa dari jaringan kerja sama perdagangan antara orang2 Tionghoa dengan VOC yang erat ini menghasilkan keuntungan besar bagi kedua fihak. Jelaslah dari kepentingan economi ini maka VOC mau tidak mau harus mengambil sikap yang simpatik terhadap orang Tionghoa. Disampingnya itu dibandingkan dengan orang Asia lainnya orang Tionghoa adalah satu2nya yang dikenakan wajib membayar pajak perorangan. Di- daerah ommelanden pada tahon 1651 di tunjuk oleh VOC landdrosten, ini adalah ambtenar hukum dan administratif. Ambtenar2 ini selalu orang2 Belanda yang hanya mementingkan pemungutan pajak dan tidak memperdulikan buruh2 Tionghoa ini. Bahkan pada tahun 1868 situasi memburuk dengan dikerjakan (launching) sistim “politie-rol” oleh Belanda, dimana sidang juridiksi dapat dikerjakan oleh pegawai administratif lokal chusus untuk orang Tionghoa. Dengan sistim politie rol ini orang Tionghoa menjadi korban kejahatan baik dari pegawai-pegawai Belanda maupun pribumi. Sidang ini dapat dilakukan tanpa memanggil saksi dan tidak boleh naik banding. Segala keluhan dan problema dari orang Tionghoa tidak bisa diselesaikan oleh opsir-opsir Tionghoa (majoor, kapitein, Luitenan etc.) atau Kong-koan (Chinese raad). Biasanya opsir2 Tionghoa ini bersama Kongkoan (Chinese raad) oleh Belanda ditugaskan chusus untuk mengatur dan mengawasi (managing and supervising) orang-orang Tionghoa di Jawa dan Madura, dan dinamakan “Chinees bestuur”.

Institusi dari opsir-opsir Tionghoa memangnya dikerjakan oleh Belanda semula sewaktu mereka mengangkat Kapten Tionghoa yang pertama Souw Beng Kong, pada tahun 1619 dan dihapuskan sampai kira2 tahun 1934. Penunjukan sebagai opsir Tionghoa dipilih oleh Belanda karena pengaruhnya dalam masyarakat Tionghoa dan terutama karena kekayaannya. Kekuasaan yang diberikan oleh Belanda kepada opsir2 Tionghoa ialah fungsi mereka, untuk mengatur dan mengawasi orang-orang Tionghoa agar taat pada pemerintah Belanda. Untuk kepentingan ini opsir-opsir Tionghoa harus menerangkan pada orang-orang Tionghoa peraturan dan undang-undang pemerintah agar ditaati oleh masyarakat Tionghoa. Memberikan pas-pas jalan dan sebagainya dan selanjutnya mengumpulkan berbagai macam pajak yang orang Tionghoa harus membayar kepada pemerintah. Jelaslah bagi kita bahwa opsir-opsir Tionghoa ini tidak bisa berbuat yang melanggar peraturan pemerintah Belanda. Mereka tidak bisa dengan bebas memimpin masyarakat Tionghoa dalam gerakan nasionalisme Tiongkok dan perjoangan untuk memperbaiki nasib orang Tionghoa. Mereka menurut saya bukanlah pemimpin masyarakat Tionghoa karena mereka sebagai alat pemerintah Hindia dan tidak mungkin mengerakkan anti undang-undang yang diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa, bahkan mereka mempunyai tugas untuk mencegah dan menindasnya.

Saya bertanya diri, kalau orang-orang Tionghoa sebelon achir abad ke sembilan belas berhubung tidak bolehnya oleh keizer Qing wanita-wanita Tionghoa mengikutu suaminya ke Nan-Yang (Lautan selatan, artinya Asia tenggarah), maka orang-orang Tionghoa lelaki menikah dengan orang-orang Jawa, anak anak mereka ini diberi nama Baba atau Peranakan. Anak- anak ini kebanyakan mengambil kultur Jawa dan mengambil sifat-sifat Jawa, karena anak-anak ini terutama mendapatkan pendidikan ibu, dan ayahnya sibuk mencari uang. Karena itu pertanyaan saya ialah: apakah tidak ada dari kaum Baba/Peranakan yang mempunyai kontribusi dalam pemerintahan, kepelawanan dan kultur perkembangan bangsa Indonesia? Sewaktu kami ke Jepara untuk melihat pabrik-pabrik mebel disana, saya berdiskusi dengan istri saya karena atap-atap rumah disitu seperti yang kami lihat di Tiongkok. Bukankah atap-atap rumah-rumah di Jepara seperti atap atap yang ada di Tiongkok, dimana diujung-ujungnya dihias dengan binatang-binatangan. Istri saya mengangguk-ngangguk setuju dengan pandangan saya ini. Kemudian saya membaca buku-buku mengenai riwayat Jepara ternyata kota ini dahulu adalah pusat perdagangan antara orang2 Jawa dengan saudagar-saudagar Tionghoa. Dengan semakin meluasnya peperangan-perangan antara elite elite Jawa dan peperangan dengan kekuasaan VOC, maka gambaran perkembangan dalam masyarakat Jawa bermacam-macam. Di Jawa Tengah ada banyak orang-orang Tionghoa Peranakan yang beragama islam ikut berjuang dengan Diponegoro dan berhubung diantara mereka banyak yang pandai silat maka oleh Diponegoro diangkat mejadi panglima-panglima dan pengawal pangeran ini. Orang-orang Tionghoa ini menyediakan untuk tentara Diponegoro kebutuhan akan uang perak, senjata dan candu. Dan bahkan sekali orang-orang Tionghoa peranakan ini ikut pula bertempur bahu membahu dengan elite-elite pribumi. Inilah kedaan yang dapat dijumpahi didaerah-daerah dan banyak diantara mereka yang memeluk agama Islam serta merupahkan keturunan keluarga-keluarga Tionghoa peranakan yang telah lama bermukim di pulau Jawa. Mereka melalukan kerja sama yang erat dengan orang-orang Jawa, kemudian menjadi korban pembalasan dendam orang-orang Belanda yang dilakukan dengan kejam, setelah kekalahan yang diderita oleh Sasradilaga, ipar Diponegoro.

Pada jaman kuno terdapat hubungan yang baik antara sultan-sultan dengan orang-orang Tionghoa, karena mereka dapat menyediakan tenaga-tenaga yang terampil di dalam bidang pembukuan dan keuangan, yang sama sekali tidak banyak tersedia didalam kalangan masyarakat Jawa. Orang-orang Tionghoa dapat membantu keuangan di Istana dan hubungan yang hidup diantara mereka ini tidaklah didasarkan atas saling curiga-mencurigai, tetapi didasarkan kepada tingkat kepentingan bersama dan koperasi antar kelompok secara timbal balik yang cukup menonjol. (Lihat Karangan Dr. Peter Carey: Orang Jawa & Masyarakat Cina 1755-1825). Bahkan terdapat petunjuk-petunjuk bahwa sejumblah perkawinan antar kelompok telah berlangsung di antara golongan priyayi Jawa dan orang-orang Tionghoa. Saya kira orang-orang Tionghoa jaman dulu seperti halnya dengan situasi modern pada jaman sekarang ini, saya berpendapat bahwa hubungan yang erat itu harus dikerjakan (sekarang kita sebut integrasi) ditindak lanjuti seterusnya. Proses integrasi sangat penting bagi mereka yang mau menetap diIndonesia. Leluhur kita dulu belum mengerti tentang arti ketatanegaraan, mereka bekerja sama yang erat derngan rakyat Indonesia demi penghidupan yang harmonis dengan rakyat lokal dimana mereka tinggal dan, disampingnya itu juga demi penghidupan keluarga mereka, memajukan taraf penghidupan dan perdagangan mereka. Proses ini tampak tidak hanya di kota-kota, tetapi juga di daerah pedalaman, mereka harus “integrasi” dengan masyarakat dimana mereka tinggal.

Pada masa lampau, bahkan sekarangpun adalah logis dan wajar kalau mereka berusaha untuk lebih memperkuat lagi relasi mereka itu melalui hubungan-hubungan persahabatan pribadi yang lebih baik. Karena hubungan-hubungan pribadi yang baik ini maka terjadilah perkawinan - perkawinan antara orang-orang Tionghoa dengan Priyayi seperti yang kutulis diatas. Perkawinan tidaklah bisa dipaksakan kalau tidak dikehendaki oleh kedua fihak, lain dengan keadaan jaman dulu perkawinan ditentukan oleh sang ayah. Masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi dan mengenai hak-hak asasi manusia. Masyarakat Tionghoa yang sudah berakulturalisasi dengan baik itu tampaknya terus berkembang bertambah besar meskipun mereka mengalami kesulitan kesulitan disejarahnya. Orang-orang Tionghoa peranakan ini telah berhasil memungut tingkah laku dan bahasa dari orang Jawa terutama dari ibunya, tetangganya dan disekitarnya dimana mereka bekerja.

Sesudah Jan Pieterszoon Coen banyak gubernur-gubernur jendral VOC yang kurang simpatik terhadap orang-orang Tionghoa, mereka mengeluarkan bermacam-macam peraturang yang menyulitkan penghidupan orang Tionghoa. Pada jaman VOC, terutama pada tahun 1740 terjadi pembunuhan masaal orang Tionghoa, suatu kekejaman yang oleh sejarahwan-sejarahwan dianggap sebagai noda yang paling hitam dalam sejarah kota Batavia dan VOC. Orang melihat pembunuhan yang kejam dan perampokan disegala sudut kota Batavia. Semua orang Tionghoa tanpa kecualian, pria, wanita dan anak-anaknya, sala atau tidak sala diserang, baik wanita yang hamil dan bayi tidak luput dari pembantaian yang tidak mengenal perikemanusiaan. Orang-orang Eropa baik sipil, maupun militer dan pasukan-pasukannya yang terutama terdiri dari orang-orang pribumi actif dalam pembunuhan dan perampokan orang Tionghoa. Mayat orang Tionghoa bergelentangan di jalan-jalan. Kerusuhan tersebut berlangsung kira2 satu minggu dan diperkirakan 10000 (sangat banyak pada jaman dulu) orang Tionghoa yang tewas dan ratusan rumah dibakar menjadi abu. Yang dianggap tidak wajar ialah kompeni tidak menunjukkan sesuatu usaha untuk menghentikan pertumpahan darah itu. Kejadian-kejadian seperti diatas tidak itu saja, namun saya tidak perlu membahas, karena ini bukan disebabkan karena spontanitet dari rakyat, tetapi karena diatur dari atas terutama oleh gubernur Jendral Valkenier dan van Imhoff dari VOC. Mereka saling tuduh menuduh sehingga membingungkan sekali dan pula sebagian besar dokumen-dokumennya (sengaja) dihilangkan. Sesudahnya kejadian ini VOC menjalankan pilitik segregasi (politik pemisahan) antar bangsa membagi daerah-daerah tinggal dari berbagai penduduk menurut asal rasnya. Dengan demikian terbentuklah daerah-daerah yang terkenal dengan nama Chinese- wijk atau daerah Petjinaan dan disingkat menjadi Petjinan.



Sedikit tentang kesulitan gerak hidup bagi orang Tionghoa jaman VOC

Orang-orang Tionghoa peranakan meskipun sudah bergenerasi tinggal dan lahir di Indoenesia dan banyak mengambil norma-norma setempat, mereka masih tetap terpisah dari Pribumi, dikarenakan politik divided et empera, politik pecah belah Belanda. Pemerintah mengharuskan berbagai ras untuk mempertahankan cultur penghidupannya. Orang Tionghoa tidak boleh memotong rambut kuncir panjangnya, dan harus berpakaian Cheongsam, terkecuali apabila mereka mendapatkan ijin mengunakan pakaian barat. pemerintah membagi penduduk Hindia Belanda atas: Europeanen, Vreemde Oosterlingen, disini tergolong orang Tionghoa dan Inlanders (Pribumi).

Sebelon 1740 orang-orang Tionghoa tinggal dimana-mana dan tempat-tempat yang baik:”zij bewoonen overal in de stad de beste plaatzen”, karena mereka tergolong “freeburghers” (penduduk bebas). Pada achir abad XVIIII Belanda melakukan politis menyerang kekuatan ekonomi dari orang Tionghoa. Sistim Surat Jalan, “Passenstelsel” sangat multicomplex dan terdiri dari beberapa macam, diantaranya Louw-dji ( ) pas buat jalan, Pasatdji ( ) buat orang Tionghoa yang berjualan di pasar diluar kota, dalam pas tersebut harus dijelaskan apa dagangan mereka. Lesadji ( ) buat orang Tionghoa yang sering berkulaan didesa seperti membeli tembakau, kopra, padi dan lain-lainnya. Itu passenstelsel jelas ditujuhkan untuk mempersulit perdagangan orang Tionghoa karena tidak bebasnya bepergian mereka. Tentu saja buat bikin ini pas orang Tionghoa harus menyogok juru tulis. Keadaan ini tambah dipersulit karena bersamaan dengan adanya passenstelsel berlaku juga wijkenstelsel. Dengan peraturan ini orang Tionghoa diharuskan tinggal didaerah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dimana mereka boleh tinggal (Petjinan). Menurut penuturan dari fihak Tionghoa (Kong Koan, Chinese Raad) berhubung dengan adanya peraturan wijkenstelsel, telah bikin banyak sekali orang-orang Tionghoa yang tinggal di desa-desa terpaksa meleburkan diri jadi orang pribumi, karena mereka tidak bisa meninggalkan milik-miliknya yang berupa tanah, rumah dan lain-lain. Menurut tulisan Liem Thian Joe mungkin wijkenstelsel ini diadakan pada tahun Sien-thio atawa tahun Olanda 1841. Jika mereka tidak mentaati ketentuan yang telah ditetapkan itu maka mereka harus menghadap ke politierol dengan hukuman yang berat. Itu passenstelsel achirnya dicabut oleh pemerintah kira-kira pada tahun 1906 dan kemudian juga politierol, kira-kira tahun 1915 wijkenstelsel pun dihapuskan. Kita harus memberi pujian pada orang-orang Tionghoa meskipun oleh Belanda diadakan berbagai-bagai rintangan, orang Tionghoa tetap bisa bergerak dengan bebas, karena soepelnya mereka menghadapi situasi, seperti pohon Yang Liu menghadapi angin taufan, sehingga perdagangan mereka tidak putus dan bisa berkembang dengan baiknya.



Periode sesudah VOC



VOC,adalah sebuah kompanyi perdagangan yang berkuasa dan kemudian memegang pemerintahan di Indonesia namun dimulai pada pertengahan abad XVIII penghasilan VOC terutama tergantung dari pemungutan pajak pendapatan, toll jalanan, penyewahan dan kontrak, tidak lagi dari perdagangan seperti semula waktu jayanya VOC. Perdagangan VOC boleh dibilang terhenti sama sekali. Didalam tubuh VOC dapat dikatakan telah rusak karena mismanagement dan korupsi besar-besaran. Mereka membuat dua pembukuan dan keuntungan-keuntungan VOC dibagi-bagi antar directur-directurnya dan teman-temannya sendiri. Orang Belanda menamakan VOC tidak lagi sebagai “Verenigde Oost-Indische Compagnie” tetapi “Vergaan onder Corruptie” (ruined by corruption). Dengan perobahan jaman dimana administrasi daerah jajahan di Hindia sekarang dilakukan oleh instansi pemerintahan yang betul, penduduk Hindia Belanda menyesuaikan diri dengan perkembangan kota2 dan pedesaan. Orang-orang Tionghoa bergerak ke daerah-daerah pedalaman sekitarnya kota-kota besar, namun sebagian besar menetap di Petjinan. Di Batavia misalnya mereka bergerak ke daerah Molenvliet, Tanah Abang, Senen, Pasar Baru dan Meester Cornelis (Mester). Sebagai orang Tionghoa mereka tetap berdagang dan sebagian membuka toko dijalanan besar kota, daerah-daerah ini dinamakan oleh Belanda kemudian “De nieuwe Chinese winkelbuurt”, daerah perdagangan Tionghoa baru. Bahasa yang mereka pakai sehari-hari adalah yang dikenal oleh orang Tionghoa ialah bahasa Tionghoa melayu. Bahasa ini dipakai sebagai bahasa sehari-hari dan bahkan digunakan sebagai bahasa perdagangan itu waktu. Bahasa Melayu Tionghoa ini terdiri dari terutama bahasa Melayu dicampur dengan bahasa Hokkian, Jawa dan Belanda. Grammatikanya kita kenal dengan basis bahasa Melayu pasar. Bahasa Indonesia yang sekarang dipakai itu waktu dinamakan Bahasa Melayu Tinggi. Dengan Bahasa Melayu Tionghoa mereka menerbitkan banyak sekali koran-koran di seluruh Nusantara dan menerbitkan buku-buku cerita roman, cerita silat yang belakangan ini sangat digemari tidak saja oleh orang Tionghoa juga orang pribumi menyukai cerita ini. Dapatlah disimpulkan bahwa orang Tionghoa mempunyai pengaruh yang tidak sedikit dalam kultur, literatur, theatre, dance, architectur dan dapur.

Dari permulaan abad XX, generasi muda peranakan yang telah mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari orangtuanya dan diantara mereka mendapatkan pendidikan Barat (Belanda) muncul bersama-sama dengan orang Indonesia sebagai elite baru. Mereka mengambil pekerjaan dilapangan yang baru menurut kesenangan mereka seperti guru, perawat, cashier, pegawai kantor2, dokter, insinyur, jurist, journalist, penulis literatuur, roman, silat, artis, musik dan politiek. Mereka meninggalkan perdagangan yang dahulu dikerjakan oleh ayahnya. Orang-orang totok karena tidak pandai bahasa Belanda dan kurang cakap bahasa Melayu, mereka tidak bisa bekerja diperusahaan Belanda atau perusahaan yang berdagang dengan luar negeri, karenanya kaun totok tetap mengusahakan perdagangan sampai di pedesaan.

Pada awal abad XX muncullah generasi mudah Peranakan yang berpendidikan sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, kebanyakan mereka ini mendapatkan pendidikan Belanda. Pada awal abad XX menghembus angin baru dalam gerakan politik di Asia, dan gerakan perkembangan politik dalam dan luar negeri ini mempengaruhi gerakan politik dalam masyarakat Tionghoa. Didalam negeri terjadinya gerakan nasionalisme Indonesia dan didirikannya berbagai-bagai organisasi seperti Tiong Hoa Hwee Koan, Boedi oetomo dan kemudian Sarikat Islam, Indische Partij, Indische Sociaal-Democratische Vereniging etc. Di luar negeri pemerintah Manchu mulai menaruh perhatian kepada orang Tionghoa di Nan-yang, karena pemerintah memandang orang Tionghoa perantauan sebagai sumber dukungan politik dan keuangan. Pejabat-pejabat kerajaan Tiongkok dikirim untuk memajukan dan mengawasi pendidikan bagi anak-anak Tionghoa, dan beasiswa disediakan bagi anak-anak Hua Kiao untuk belajar di Tiongkok. Pula munculnya gerakan reformasi di Tiongkok dibawah pimpinan Kang Yoe Wei dan Liang Djie Djao memberi impact bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia dan perasaan dan kesedaran ketionghoannya kembali menebal dan meningkatkan nasionalisme. Perasaan ini lebih meningkat dengan kedatangan Kang Yoe Wei, pemimpin gerakan pembaruan Tiongkok (reformasi) pada tahun 1903 ke Indonesia. Menurut Liem Thian Yoe dalam bukunya Kang juga mengunjungi Semarang. Perasaan nasionalisme Tiongkok memuncak kesuluruh Nan Yang (Asia Tenggara) trmasuk di Hindia Belanda sesudah berdirinya Republiek Tiongkok dibawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Orang-orang Tionghoa yang dahulu mempunyai ikatan dengan desanya (Fu-Jing, Mei Xian, Xiamen etc.) dimana nenek moyangnya dulu tinggal, sekarang karena gerakan reformasi di Tiongkok dan kunjungan-kunjungan dari pemimpin-peminpin Tiongkok ke Hindia Belanda, mereka merasahkan persatuan bagi seluruh Tiongkok (Tiongkok Raya). Perlu dijelaskan kemenangan Jepang dalam peperangan dengan Russia memberi kepercayaan pada orang Asia, bahwa mereka juga mempunyai kekuataan untuk menjatohkan negara Eropa yang besar. Belanda merasahkan dan mengakui kekuatan Jepang yang sebelonnya termasuk vreemde Oosterlingen sekarang diberi status sama dengan orang Eropa. Pemuda Peranakan Tionghoa melahirkan gerakan-gerakan angin baru di Hindia Belanda dan berkembang dengan pesatnya. Mereka lebih berani memperjoangkan hak-hak mereka dan mulai ikut bergerak dalam politik. Gerakan nasionalisme Tiongkok melahirkan organisasi-organisasi Tionghoa seperti Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada tahun1900, Siang Hwee (kamar dagang), Tung Men Hui (organisasi dari Dr. Sun Yat Sen), kumpulan ini kemudian membuka taman-taman bacaan Soe Po Sia (kumpulan studi, yang menyebarkan gerakan ideologi Tiongkok revolusioner). Tiong Hoa Hwee Koan mendirikan sekolah-sekolah yang berbahasa Tionghoa (Tiong Hoa Hak Tong) dengan bahasa mandarin, di mulai pada tahun 1901, kemudian menjalar ke seluruh Jawa dan bahkan juga ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi. Dengan didirikan sekolah-sekolah THHK maka sekolah-sekolah Gie Oh yang mendidik secara traditional dibubarkan, dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah-sekolah THHK.

Dalam buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia saya membaca bahwa engkong luar saya ditulis sebagai berikut: “..... itu ia (Tan Sie Tiat, engku, saudara laki dari ibu saya ) belajar juga bahasa Tionghoa pada ayahnnya, tuan Tan Ping Liam (engkong) yang terkenal pande dalam pladjaran Tionghoa dan buka sekolah Tionghoa di Bibis. .......” halaman 396. ini dapat disimpulkan bahwa pada permulaan abad XX disampingya THHK sudah ada banyak sekolah-sekolah partikulir Tionghoa lainnya. Perlu diterangkan disini bahwa Tan sie Tiat adalah satu bokser Tionghoa yang terkenal dan pertama di Hindia Belanda yang banyak kali merebut medaili emas dan banyak pendapatannya diberikan untuk amal seperti THHK d.l.l.nya. (lihat Riwayatnya Satu Bokser Tionghoa Tan Sie Tiat. oleh Tio Ie Sui. Kesastr. Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia). Tan Sie Tiat telah memberi kepercayaan kepada orang-orang Tionghoa bahwa mereka juga bisa mengalakan orang-orang Eropa dalam boksen yang berbadan lebih besar.

Bersamaan dengan gerakan angin nasionalisme yang santer ini diterbitkannya koran-koran Tionghoa peranakan dalam bahasa Melayu-Tionghoa seperti Pewarta (Surabaya) beraliran ke Tiongkok, Sin Po (Batavia) berorientasi ke Tiongkok maka sealiran dengan Pewarta, Perniagaan (Batavia) kemudian menjadi Siang Po yang menyuarakan Chung Hua Hui, yang berorientasi ke Hindia Belanda dan Djawa Tengah (Semarang) berfihak pada Partai Indonesia, tetapi dekat pada Chung Hua Hui dan banyak lain-lainnya lagi. Surat kabar Tionghoa peranakan bukan main banyaknya, maka untuk mengetahui aliran politiknya perlu diselidiki selanjutnya.

Gerakan nasionalisme Tionghoa menimbulkan kekuatiran fihak Belanda dan mereka mendirikan Bureau voor Chinese Zaken, suatu institusi yang memberi advies pada pemerintah Hindia Belanda bagaimana sebaiknya beleid pemerintah terhadap orang Tionghoa. Di biro ini bekerja ahli-ahli Tionghoa yang terkenal adalah P.H. Fromberg dan L.H.W. Sandick. Fromberg oleh orang Tionghoa dianggap sebagai Douwes Dekker bagi Orang Tionghoa. Fromberg menganjurkan pemerintah Hindia agar orang-orang Tionghoa disamakan dengan orang Eropa. Dengan adanya biro ini Pemerintah Hindia menghapus beberapa peraturan-peraturan yang tidak enak bagi masyarakat Tionghoa. Dengan cepatnya perkembangan sekolah-sekolah THHK yang menampung murid-murid Tionghoa, menimbulkan kekwatiran Belanda, apalagi dengan dimulainya gerakan politik dikalangan Tionghoa dan sekolah-sekolah THHK akan mendidik benih-benih ideologi politik dan semangat nasionalisme Tiongkok. Pada pada tahun 1908 didirikan oleh pemerintah Belanda Hollands-Chinese School, sekolah Tionghoa-Belanda, memakai bahasa Belanda menurut methode orang Eropa, pertama didirikan di Batavia lalu ke seluruh Hindia Belanda.

Didasarkan dari tiga kejadian-kejadian yang saya ceriterakan diatas maka di masyarakat Tionghoa muncullah tiga aliran politik yang menurut penulis peranakan yang terkenal Kwee Tek Hoay yaitu:

1. Chung Hua Hui yang terutama dipimpin oleh opsir-opsir dan familinya dibantu dengan kaum intelectual peranakan. Orientasi politik mereka ialah pro Belanda.

2. politik nasionalisme Tiongkok yang disuarakan oleh harian Sin Po, harian yang terbesar dari masyarakat Tionghoa.

3. Partai Tionghoa Indonesia (PTI)dengan pusatnya di Surabaya yang berorientasi ke negara Indonesia merdeka.

Dinilai dari nama partai yang terachir ini jelaslah pendiriannya PTI adalah nasionalisme Indonesia, karena mereka beranggapan bahwa kebanyakan orang Tionghoa akan menetap di Indonesia dan tidak kembali ke Tiongkok. Chung Hua Hui kalau dinilai dari banyaknya pemimpin-pemimpin yang tinggal di Batavia, maka bisa disimpulkan bahwa Chung Hua Hui berpusat di Jakarta, namun rapat-rapatnya yang terpenting diadakan terutama di Semarang karena bantuan keuangan dari Oei Tiong Ham concern, pula dapat dikatakan bahwa semua pegawai-pegawai elite dari Kian Gwan (Oei Tiong Ham concern) menjadi aggota Chung Hua Hui. Karenanya ada beberapa ahli mengatakan Chung Hua Hui berpusat di Semarang. Sin Po berpusat di Jakarta, harian tersebut berdomicili di Jakarta, namun Sin Po bukan suatu organisasi dan aliran politiknya ditulis oleh redactur dan jurnalisnya. Kekuatan dari Sin Po dapat disimpulkan dari jumblah abonneenya yang besar, lain dengan Chung Hua Hui adalah satu organisasi. Golongan Sin Po tidak mau menjadi anggota Volksraad (parlemen) dan tidak mau menerima Kuwala Belanda karena mereka menganggap bahwa mereka orang asing dan berwarga negara Tiongkok, sebagai orang asing mereka tidak bisa menerima kuwala Belanda. Ketiga aliran ini berbedah-bedah menghadapi turut sertanya orang Tionghoa dalam pembukaan Volksraad (People’s Council) pada tahun 1918 dan akseptasi sebagai Nederlandse Onderdaan (Kuala Belanda).

Keaktifan para opsir Tionghoa yang paling menonjol ialah pendirian dari Tiong Hoa Hwee Koan dan Chung Hua Hui. Tiong Hoa Hwee Koan adalah organisasi yang didirikan pada tahon 1900 dan merupahkan organisasi yang dapat dikatakan modern pada waktu itu. Pertemuan dari 20 orang untuk mendirikan THHK berada dirumahnya Phoa Keng Hek, (seorang peranakan , anak dari seorang kapten Tionghoa kaya raya), semua orang yang hadir itu menjadi anggota executive board. Mereka ini umumnya ada opsir-opsir Tionghoa di Jakarta dan keluarga dari opsir-opsir Tionghoa. Phoa Keng Hek adalah presiden yang pertama dari THHK dari 1900 sampai 1923. Orang Tionghoa mengatakan pendiri dari THHK adalah “babah-babah bangsawan dan hartawan (initiated by notable and well-off Chinese community members). Anggaran dasar dari THHK yang tertulis dapat dibaca: “ ...satoe perkoempoelan jang bersifat laen dari pada yang laen-laen, diatas dasar jang loeas dan dengen menjender pada kesopanan Tionghoa dan teroetama pengadjaran-pengadjaran Khong Tjoe .... Jelas tujuannya ialah bersandar pada etika Tionghoa chususnya ajaran Confucius. Phoa Keng Hek, sebagai ketua dari THHK ini menulis pada semua orang Tionghoa di Hindia agar orang Tionghoa mempelajari ajaran confucius dengan betul-betul dan memegang etika dan norma-norma baik dari Confucius. Perlu dijelaskan disini bahwa Phoa mendapatkan pendidikan sekolah Belanda untuk anak-anak Europa (Eropeuse school).

Ang Jan Goan editor dari harian Sin Po mengatakan bahwa sala satu factor yang penting untuk mendirikan THHK ialah pertarungan antar triade-triade Tionghoa di Indonesia. Beliau bermaksud agar orang Tionghoa kembali ke etika Confucius dan menjadi orang yang baik.

Sesunggunya banyak diantara masyarakat Tionghoa yang sudah mulai sadar bahwa nasib golongannya tergantung pada mereka sendiri, karena pemerintah tidak memperhatikan pendidikan anak-anak Tionghoa, tetapi art. 128 dari regeeringsreglement memberikan keputusan untuk mendirikan sekolahan untuk kaum Pribumi. Anak-anak Tionghoa tidak diperbolehkan masuk kesekolahan Pribumi maupun sekolahan untuk anak Belanda. Karena peraturan yang merugikan masyarakat Tionghoa, maka mereka mendirikan sekolahan-sekolahan THHK untuk mempertinggi kehidupan kultur masyarakat Tionghoa, ini tidak saja akan meningkatkan kedudukan golongannya, tetapi ini juga penting karena orang yang berpendidikan itu bisa bekerja dan mengisi kebutuhan perusahaan-perusahaan Tionghoa pada ituwaktu. Memang Confucianisme di Tiongkok, Jepang dan Korea dinamakan Ru Xue atau berpendidikanisme, karenanya orang-orang Tionghoa berkeinginan anaknya disekolahkan se-tinggi-tingginya. Sekolah-sekolah THHK semua dibiayai dan dikelola oleh masyarakat Tionghoa sendiri. Anak-anak perempuan juga boleh masuk sekolah dan bahasanya ialah bahasa Mandarin (Kuo-Yu), bahasa persatuan Tiongkok. Guru-gurunya didatangkan dari Tiongkok, sekolahah-sekolah THHK dipersatukan agar pendidikannya sama dengan tujuan kelak bisa meneruskan di Tiongkok. Opsir-opsir Tionghoa yang memimpin THHK ialah Oey Giok Koen, Lie Hin Liam, Nie Hoey Oen, Khoe A Fan, Khouw Kim An (menantu Phoa Keng Hek), dan lain-lain. Orang-orang ini termasuk progressif pada masa itu. Phoa Keng Hek mendapatkan respect dari pemerintah Belanda dan disusulkan untuk menjadi major tetapi olehnya ditolak karena berbagai alesan, namun dalam persoalan-persoalan dalam masyarakat Tionghoa Phoa senantiasa diminta advisnya. Phoa diminta menjadi mayor Tionghoa tetapi ditolak oleh Phoa. Dibawah pimpinannya Phoa THHK berkembang dengan pesatnya, namun bagaimana perkembangan THHK apabila beliau menerima kedudukan sebagai mayor tentunya beliau tidak begitu leluasa untuk mengerjakan pekerjaan untuk kepentingan masyarakat Tionghoa.

Pada permulaan abad XX karena perobahan politik pemerintah Tiongkok memperbolehkan migrasi bebas bagi rakyatnya, terjadilah migrasi orang-orang Tionghoa yang banyak sekali ke Indonesia termasuk wanita-wanitanya. Sekarang yang datang ke Hindia Belanda bukanya kaum-kaum buruh juga guru-guru sekolah dan orang-orang berpendidikan yang dapat bekerja sebagai pegawai-pegawai perusahaan Tionghoa. Banyak diantara mereka sesudah bekerja beberapa tahun di perusahaan-perusahaan dan di opsir-opsir Tionghoa. Apabila pegawai ini mendapat kepercaayaan dari thoukehnya, tidak jarang diambil sebagai menantu. Lelaki-laki Tionghoa yang baru datang sekarang bisa kawin dengan wanita-wanita Tionghoa totok yang diperbolhkan keluar negeri oleh kerajaan Qing. Jumblah migran-migran, tamu-tamu baru ini makin banyak dan mereka mendirikan Siang Hwee dan Soe Po Sia, meskipun kumpulan-kumpulan ini terutama dipimpin oleh golongan totok tetapi juga terdapat beberapa peranakan yang duduk sebagai pemimpin. Kaum totok ini mempertahankan orientasinya ke Tiongkok, bicara dalam bahasa dialeknya dan bekerja sama dalam perdagangan dengan teman-teman sekampungnya. Pemarintah kertajaan Qing, dan juga pemerintah Kuo-Ming-Tang dan kemudian pemerintah Republik Rakyat Tiongkok tahu kepentingan Hua-Kiao diluar negeri untuk perkembangan ekonomi Tiongkok. Maka diTiongkok didirikan kantor chusus untuk soal-sola Hua Chiao (Overseas Chinese) yang didikenal dengan nama Hua Chiao Si Wu Hui Yuen Hui, yang langsung dibawah kabinet negara.

Belanda kewatir dengan perobahan politik pemerintah Tiongkok terhadap rakyatnya diluar negeri yang memperkembangan nasionalisme Tiongkok, maka pemerintah Hindia Belanda berangsur-angsur memberikan kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi penduduk Tionghoa, target mereka adalah orang-orang Tionghoa yang lahir di Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membuka pada tahun 1908 sekolah Hollands-Chinese scholen (HCS) chusus untuk anaknya Hua Kiao yang kelahiran di Hindia Belanda. Belanda dengan mendirikan sekolah-sekolah HCS berusaha memukul THHK, yang dianggap mendidik benih-benih nasionalisme Tiongkok. Pada tahun 1910 satu wet (law) dikeluarkan yang memberikan kuwala Belanda (Nederlandse- onderdaanschap) kepada mereka yang lahir di Hindia Belanda, dan pada tahun tahun 1918 diangkatnya beberapa perwakilan Tionghoa di Volksraad (Dewan Rakyat, parlemen). Ini merupahkan angin baru perobahan politik Belanda terhadap orang Tionghoa yang jelas sebagai jawaban atas perobahan politik pemerintah Tiongkok terhadap Hua Kiao. Dengan demikian Belanda berusaha untuk menjauhkan pengaruh pemerintah Tiongkok terhadap Peranakan. Bagai Belanda lebih mudah untuk mengambil hati peranakan yang lahir di Hindia Belanda dari pada golongan tamu baru yang masih mempunyai hubungan erat dengan Tiongkok. Ironisnya THHK lah yang giat mendorong, membantu anak-anak Tionghoa untuk masuk ke HCS. Phoa Keng Heklah yang sebagai ketua THHK menulis surat terbuka kepada orang-orang Tionghoa menganjurkan anak-anaknya untuk masuk ke HCS. Ternyata Phoalah yang meminta kepada resident Jakarta untuk mendirikan HCS. Phoa Keng Hek yang mendapatkan pendidikan Belanda mengirim anak-anaknya kesekolahan Belanda demikian pula oleh anak-anaknya kebanyakan opsir-opsir Tionghoa lainnya. Kejadian ini dikritk oleh harian Sin Po yang mengritik opsir-opsir Tionghoa yang mempengaruhi masyarakat Tionghoa dan melupakan akan Chinesenessnya dan Hollandisasi (verhollandsch) dari orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa peranakan berpendapat bahwa mereka akan tetap tinggal di Hindia Belanda dan tidak mungkin akan kembali ke Tiongkok, maka mereka harus sekolah ke sekolahan Belanda agar kelak lebih muda mencari pekerjaan dan pula mereka melihat THHK menghilangkan anggaran dasar semulanya yaitu pelajaran Confucius dan sekarang buku-buku pelajarannya disesuaikan pedidikan Kuo Min Tang dan datang dari Tiongkok. Ini membuat mereka kecewa dan mau tidak mau pengaruhi Phoa Keng Hek yang sebagai ketua THHK dan lain-lain pimpinan THHK, maka anak-anakperanakan meningglkan THHK dan masuk sekolah Belanda.

Sesudah Phoa keng Hek berhenti sebagai ketua THHK, kedudukannya diganti oleh Tan Pia Teng, seorang totok dari Hokkian dan sedari itu ketua THHK selalu adalah orang totok Tionghoa, tetapi majoor Khouw Kim An, meskipun dia aktif dalam organisasi politik Chung Hua Hwee, dia tetap menjadi pelindung dari THHK sampai pendudukan Jepang pada tahun 1942.

Mengenal teori taoisme dan sosioloogi, orang bisa mengerti bahwa didalam masyarakat selalu ada kontradiksi dari satu kesatuan, apapun dalam kehidupan manusia senantiasa ada golongan yang pro- dan yang contra, ini adalah Yin-Yang dari kehidupan politik setiap masyarakat. Menghadapi puluhan ribu, bahkan ratusan ribu manusia memang keadaan masyarakat adalah complex, namun di Hindia Belanda dan situasi Tionghoa perantauan keadaannya lebih complex lagi, maka kita lihat, karena ada tiga factor penting yang mempengaruhi kehidupan cultur dan politik Hua Kiao jaitu: pemerintah Hindia Belanda, negara leluhur orang-orang Hua Kiao dan Indonesia dimana Hua Kiao tinggal dan mencari nafkah. Dari tiga factor diatas maka muncullah dalam dunia politik Hua Kiao tiga aliran politik yang disampingnya saling bercontradiksi namun ada kebersamaannya ialah identitas Tionghoanya.

Tiga aliran politik yang saya sebut terdahulu asalnya diuraikan oleh seorang penulis peranakan Kwee Tek Hoai.

1. Aliran yang berorientasi ke Tiongkok diwakili Kelompok Sin Po, Sin Po adalah harian yang terkemuka di Indonesia dan diterbitkan pada tahun 1910 di Batavia. Sin Po tidak mewakili organisasi atau partai politik dan aliran politiknya diwakili oleh jurnalist-jurnalist dari Sin Po sendiri. Sin Po berorientasi ke Tiongkok dan menganjurkan Hua Kiao mempertahankan kewargaan Tiongkoknya dan menolak menjadi Nederlands Onderdaan, kawula negara Belanda. Harian Sin Po menganjurkan agar orang-orang Peranakan menyadari ketionghoaanya, mempertinggi nasionalisme Tiongkok dan menyampur dekat dengan Tionghoa totok. Jelaslah bahwa menurut Sin Po Hua Kiao harus menganggap Tiongkok sebagai tanah airnya dan nasib dari Peranakan adalah tergantung dari Tiongkok. Orang yang penting bagi Sin Po ialah Tjoe Bou San, Kwee Hing Tjiat, Hauw Tek Kong, Ang Jan Gwan, Kwee Kek Beng etc.. Aliran Sin Po ini didukukung oleh intelectual Hua Kiao seperti Dr. kwa Tjoan Sioe, Dr. Loe Ping Kian, Mr. Tan Po Gwan etc.

2. Aliran yang mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda untuk kemakmuran Hindia Belanda, diwakili oleh perkumpulan Chung Hua Hwee (CHH), lahir pada tanggal 8 april 1928, menurut anggaran dasarnya bertujuan untuk perbaikan orang Tionghoa di Hindia Belanda selanjutnya untuk memelihara dan mengkonsolidasi hubungan dengan tanah air Tiongkok dan untuk mencapai tujuan tersebut memberikan pendidikan kepada anak-anak Tionghoa dan berusaha memajukan usaha (perdagangan) orang-orang Tionghoa. CHH menerima Nederlands onderdaan sebagai satu kenyataan, ini penting untuk bisa mempertinggi kedudukan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda. Perkumpulan CHH didirikan terutama oleh intelectual-intelectual peranakan, orang-orang Tionghoa kaya dan para opsir Tionghoa. Nama-nama yang mewakili CHH ialah: H.H. Kan, Dr. Ir. Han Tiauw Tjong, Oei Tjong Hauw, Thio Thiam Tjong Dr. Yap Hong Tjoen d.l.l. CHH didukung oleh harian Siang Po dan majalah yang diterbitkan sendiri oleh CHH Chung Hua Hui Tsa Chih (CHHTC).

3. Aliran yang menganjurkan integrasi ke masyarakat Indonesia dan asimilasi politis ke masyarakat pribumi. Aliran ini diwakali oleh Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan pada tanggal 25 september 1932 oleh Liem Koen Hian, Ong Liang Kok dan lain-lain peranakan. Pendirian PTI disokong oleh Persatoean Bangsa Indonesia dan kaum nasionalis Indonesia moderat terutama dr. Soetomo (ketua Persatoean Bangsa Indonesia) dan Soeroso. Dalam rapat PTI Dr. Soetomo mendukung pendirian Liem Koen Hian mengenai Indonesierschap

 sumber : http://www.librarything.com
Share this article :
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. mediaNet - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger