Kalangan kesultanan di Cirebon
meyakini, pendiri Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang. Ia kemudian
digantikan oleh Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung
Jati yang lahir pada 1448. Dialah yang membangun kesultanan tersebut. Ayahnya
ulama dari Timur Tengah, sedang ibunya dipercaya sebagai putri Raja Pajajaran.
Sunan Gunung Jati mempunyai ikatan
erat dengan Demak. Jika di Demak posisi “raja” dan “ulama” terpisah, Sunan
Gunung Jati adalah “raja” sekaligus “ulama”. Ia mengenalkan Islam pada
masyarakat di wilayah Kuningan, Majalengka hingga Priangan Timur. Bersama kerajaan
Mataram, Kesultanan Cirebon mengirim ekspedisi militer untuk menaklukkan Sunda
Kelapa (kini Jakarta) di bawah Panglima Fadhillah Khan atau Faletehan, pada
1527.
Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.
Sekitar tahun 1520, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin melakukan ekspedisi damai ke Banten. Saat itu kekuasaan berpusat di Banten Girang di bawah kepemimpinan Pucuk Umum -tokoh yang berada di bawah kekuasaan Raja Pakuan, Bogor. Pucuk Umum menyerahkan wilayah itu secara sukarela, sebelum ia mengasingkan diri dari umum. Para pengikutnya menjadi masyarakat Badui di Banten, sekarang. Maulana Hasanuddin lalu membangun kesultanan di Surosowan, dan Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon.
Setelah Raden Patah meninggal,
begitu pula Dipati Unus yang menyerbu Portugis di Malaka, kepemimpinan dilanjutkan
oleh Sultan Trenggono. Sunan Gunung Jati-lah yang menobatkan Sultan Trenggono.
Anaknya, Maulana Hasanuddin dinikahkan dengan Ratu Nyawa, putri Sultan Demak
itu. Mereka dikaruniai dua anak, Maulana Yusuf dan Pangeran Aria Jepara -nama
yang diperolehnya karena ia dititipkan pada Ratu Kalinyamat di Jepara.
Di Cirebon, dalam usia lanjut Sunan
Gunung Jati menyerahkan keraton pada cicitnya, Panembahan Ratu. Setelah itu,
kesultanan dipegang oleh putranya, Pangeran Girilaya. Setelah itu Cirebon
terbelah. Yakni Kesultanan Kasepuhan dengan Pangeran Martawijaya Samsuddin
sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan Kanoman yang dipimpin Pangeran
Kartawijaya Badruddin. Pada 1681, kedua kesultanan minta perlindungan VOC.
Posisi Cirebon tinggal sebagai simbol, sementara kekuasaan sepenuhnya berada di
tangan VOC.
Sementara itu, Banten justru
berkembang menjadi pusat dagang. Maulana Hasanuddin meluaskan pengembangan
Islam ke Lampung yang saat itu telah menjadi produsen lada. Di Banten tumbuh
tiga pasar yang sangat sibuk. Ia wafat pada 1570. Sedangkan putranya, Maulana
Yusuf menyebarkan Islam ke pedalaman Banten setelah ia mengalahkan kerajaan
Pakuan pada 1579. Maulana Muhammad -putra Maulana Yusuf-tewas saat mengadakan
ekspedisi di Sumatera Selatan (1596), kesultanan lalu dipegang Sultan Abdul
Mufakir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651).
Pada masa itulah, kapal-kapal
Belanda dan Portugis berdatangan ke Banten. Demikian pula para pedagang Cina.
Ketegangan dengan Kesultanan Banten baru terjadi setelah Sultan Abdul Mufakir
wafat, dan digantikan cucunya Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu, Sultan Ageng
didampingi ulama asal Makassar Syekh Yusuf. Tokoh ini berperan besar dalam
perlawanan Kerajaan Gowa (Makassar) di bawah Sultan Hasanuddin terhadap VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa yang menganggap kompeni menyulitkan perdagangan Banten,
memboikot para pedagang Belanda.
Persoalan muncul setelah Sultan
Ageng Tirtayasa menyerahkan kekuasaan pada anaknya yang baru pulang berhaji,
Abdul Kohar Nasar atau Sultan Haji (1676). Sultan Haji lebih suka berhubungan
dengan kompeni. Ia memberi keleluasaan pada Belanda untuk berdagang di Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa tak senang dengan kebijakan itu. Para pengikutnya
kemudian menyerang Istana Surosowan pada 27 Februari 1682. Sultan Haji pun
minta bantuan dari Belanda. Armada Belanda -yang baru mengalahkan Trunojoyo di
jawa Timur-dikerahkan untuk menggempur Sultan Ageng Tirtayasa.
Para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa
pun menyebar ke berbagai daerah untuk berdakwah. Syekh Yusuf lalu dibuang ke
Srilanka -tempat ia memimpin gerakan perlawanan lagi, sebelum dibuang ke Afrika
Selatan. Di tempat inilah Syekh Yusuf menyebarkan Islam. Sedangkan Banten jatuh
menjadi boneka Belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer-Panarukan
kemudian memindahkan pusat kekuasaan Banten ke Serang. Istana Surosowan dibakar
habis pada 1812.
Pada tahun 1887, setelah meledak
wabah penyakit anthrax tahun 1880 yang menewaskan 40.000 orang dan letusan
Gunung Krakatau 23 Agustus 1883 yang menewaskan 21 ribu jiwa, Kiai Wasid dan
para ulama memimpin pemberontakan heroik di Cilegon.nSumber http://infos.blog.m3-access.com