Dalam batas-batas tertentu, pertemuan antara dunia luar dengan
Indonesia lebih berbentuk persaingan, konflik, dan perselisihan daripada
saling mengerti, bersahabat, dan kerja sama. Demikian juga antara dunia
Arab dengan Indonesia. Bagi kebanyakana orang Indonesia, `Arab` selalu
dihubungkan dengan kekayaan, kekerasan, kasar, dan pemarah. Bagi orang
Arab, `Indonesia` selalu dikaitkan dengan kelebihan penduduk,
kemiskinan, TKW/TKI dan `nriman`. Pada kedua belah pihak ada prasangka,
ketidaktahuan, dan salah informasi. Dan lalu, sebagaimana dunia makin
menjadi sempit karena kemajuan komunikasi, ditambah lagi adanya usaha
saling memperhatikan yang lebih besar, kontak antara Indonesia dan Arab
menjadi semakin berkembang di segala lini kehidupan.
Atas dasar kenyataan di atas, maka bagi setiap orang yang ingin
berinteraksi dengan komunitas bangsa lain dalam percaturan global,
termasuk dalam rangka tujuan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci
Makkah, penting untuk memperhatikan hal-hal berikut, antara lain:
1. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia yang
dituturkan oleh lebih dari 200 juta jiwa dan digunakan secara resmi di
lebih dari 22 negara. Secara umum bahasa Arab memiliki dua varietas,
pertama bahasa Arab Fusha (bahasa Arab standar/baku) dan kedua bahasa
Arab `Amiyyah (bahasa Arab pasaran). Varietas yang pertama umumnya
digunakan dalam komunikasi resmi seperti dalam sekolah, kantor, seminar,
dilpomatik, berita, buku-buku, majalah, dokumen-dokumen resmi dan
sebagainya. Sedangkan varietas kedua, sering digunakan untuk keperluan
komunikasi atau percakapan sehari-hari oleh warga kebanyakan dari segala
kalangan baik yang terpelajar maupun yang buta huruf.
2. Komunikasi bisa berbentuk verbal maupun non-verbal. Porsi komunikasi
non-verbal berkisar antara 60 persen (dalam budaya Barat) hingga 90
persen (dalam budaya Timur) dari keseluruhan komunikasi. Komunikasi
verbal digunakan untuk menyampaikan gagasan, informasi atau pengetahuan,
sedangkan komunikasi non-verbal digunakan untuk mengungkapkan perasaan.
Fakta, peristiwa, ciri-ciri sesuatu lebih mudah kita ungkapkan lewat
kata-kata, tetapi emosi seperti rasa sayang, rasa kagum, keterpesonaan,
rasa jengkel, rasa benci, atau bahkan kemarahan seseorang tidak jarang
diungkapkan lewat isyarat tangan, sentuhan, postur tubuh, nada suara,
pandangan mata, ekspresi wajah tertentu, jarak berbicara, penggunaan
waktu, peggunaan benda tertentu (busana, interior rumah, kendaraan,
perhiasan, jam tangan, dasi, dsb.), bau-bauan dsb. Sepengetahuan saya,
pola komunikasi orang Arab pada umumnya termasuk salah type komunikasi
yang amat ekspressif yang memadukan antara bahasa verbal dengan
non-verbal sekaligus, seperti dengan mimik, gesture, dan pendukung
non-verbal lainnya guna mayakinkan lawan bicaranya.
3. Meskipun warga Arab Saudi umumnya beragama Islam (mungkin 100%), ini
tidak berarti bahwa cara dan etika mereka dalam berkomunikasi selalu
santun seperti diajarkan Al-quran dan Sunnah. Sebagian dari cara mereka
berkomunikasi bersifat kultural semata-mata. Ini penting dipahami oleh
orang-orang yang akan berziarah/berkunjung ke Arab Saudi baik untuk
menunaikan ibadah umrah dan haji, apalagi untuk bekerja sebagai
diplomat, pebisnis, pegawai, teknisi, perawat, TKI atau TKW untuk
mengatasi mis-komunikasi (kesalahpahaman) dan konflik yang mungkin akan
mereka/kita alami ketika berhubungan dengan orang Arab, karena
bagaimanapun mereka akan lebih banyak berkomunikasi dengan warga
pribumi.
4. Gaya komunikasi orang Arab, seperti gaya komunikasi orang-orang Timur
Tengah umumnya, bebeda dengan pembicara orang-orang Barat (Amerika atau
Jerman) yang berbicara langsung dan lugas. Dengan kata lain, orang Arab
masih tidak berbicara apa adanya, masih kurang jelas dan kurang
langsung. Umumnya orang Arab suka berbicara berlebihan dan banyak
basi-basi (mujamalah). Misalnya, bila seorang Saudi bertemu temannya,
maka untuk sekedar tanya kabar, tak cukup sekali dengan satu ungkapan,
tapi berkali-kali. Disamping itu bila seorang Saudi mengatakan tepat
seperti yang ia maksudkan tanpa pernyataan yang diharapkan, orang Saudi
lainnya masih mengira yang dimaksudkannya adalah kebalikannya. Kata
sederhana `La` (dalam bahasa Arab `Tidak`) yang diucapkan tamu tidaklah
cukup untuk menjawab permohonan pribumi agar tamu menambah makan dan
minum. Agar pribumi yakin bahwa tamunya memang betul-betul sudah
kenyang, tamu itu harus mengulangi `La` beberapa kali, ditambah dengan
sumpah seperti `Demi Allah` (`Wallah`).
5. Masih banyak isyarat non-verbal khas Arab lainnya yang berbeda makna
dengan isyarat non-verbal ala Indonesia. Misalnya, sebagai pengganti
kata-kata, `Tunggu sebentar!` atau `Sabar dong!` ketika dipanggil atau
sedang menyeberangi jalan (sementara kendaraan datang mendekat), orang
Arab akan menguncupkan semua jari-jari tangannya dengan ujung-ujungnya
menghadap ke atas. Ketika bertemu dengan kawan akrab, mereka terbiasa
saling merangkul seraya mencium pipi mitranya dengan bibir. Ini suatu
perilaku yang dianggap nyeleneh oleh orang lain umumnya, bahkan mungkin
juga oleh orang Indonesia. Orang lain yang tidak memahami budaya Arab
akan menganggap perilaku tersebut sebagai perilaku homoseksual.
Walhasil, jika kita bersama orang Arab, kita harus tahan berdekatan
dengan mereka. Bila kita menjauh, orang Arab boleh jadi akan tersinggung
karena Anda menyangka bahwa kehadiran fisiknya menjijikkan atau kita
dianggap orang yang dingin dan tidak berperasaan. Begitu lazimnya orang
Arab saling berdekatan dan bersentuhan sehingga senggol menyenggol itu
hal biasa di mana pun di Arab Saudi yang tidak perlu mereka iringi
dengan permintaan maaf.
6. Sejak kanak-kanak orang Arab dianjurkan untuk mengekspresikan
perasaan mereka apa adanya, misalnya dengan menangis atau berteriak.
Orang Arab terbiasa bersuara keras untuk mengekspresikan kekuatan dan
ketulusan, apalagi kepada orang yang mereka sukai. Bagi orang Arab,
suara lemah dianggap sebagai kelemahan atau tipu daya. Tetapi suara
keras mereka boleh jadi ditafsirkan sebagai kemarahan oleh orang yang
tidak terbiasa mendengar suara keras mereka. Maka pasti akan banyak yang
mengira, kalau bicaranya seperti marah ketika seorang pegawai Arab
misalnya, sedang memeriksa paspor, iqamah, dsb. Saya menduga banyak
TKI/TKW di Arab Saudi yang belum memiliki pemahaman memadai tentang
bahasa Arab boleh jadi mengidentikkan suara majikan mereka yang keras
itu dengan kemarahan, meskipun majikan itu sesungguhnya tidak sedang
marah. Sebaliknya, senyuman wanita kita (termasuk TKW) kepada orang
Arab/majikan pria mereka yang mereka maksudkan sebagai keramahtamahan
atau kesopanan, boleh jadi dianggap sebuah `godaan` oleh majikan pria
mereka. Kesalahpahaman antarbudaya semacam ini, bisa tidak terhindarkan
meskipun majikan dan TKW sama-sama Muslim. Mungkinkah problem TKW di
Arab Saudi seputar terjadinya pelecehan seksual sebagaimana sering kita
baca atau dengar, seperti kasus; `majikan Arab memerkosa atau menghamili
TKW` dsb berkaitan dengan kesalahpahaman antarbudaya ini? Bisa jadi
7. . Budaya/tradisi Arab mementingkan keramahtamahan terhadap tamu,
kemurahan hati, keberanian, kehormatan, dan harga-diri. Nilai kehormatan
orang Arab terutama melekat pada anggota keluarganya, khususnya wanita,
yang tidak boleh diganggu orang luar. Di Arab Saudi wanita adalah
properti domestik. Di Saudi, adalah hal yang lazim jika seorang pria
tidak pernah mengenal atau bahkan sekadar melihat wajah istri atau anak
perempuan dari sahabatnya, meskipun mereka telah lama bersahabat dan
sering saling mengunjungi. Juga tidak lazim bagi seorang pria untuk
memberi bingkisan kepada istri sahabat prianya itu atau anak
perempuannya yang sudah dewasa. Karena itu saran saya, tak usahlah kita
coba-coba sok ramah, berlama-lama memandang, apalagi menggoda atau
mengganggu.
8. Aturan/rambu-rambu lalu lintas yang berlaku di Arab Saudi berbeda
180º dengan aturan yang berlaku di negara kita. Di Indonesia, setiap
pengguna jalan umum baik kendaraan pribadi maupun kendaraan/angkutan
umum semua wajib berada di jalur kiri jalan (dan letak roda kemudi mobil
berada di bagian kanan). Demikian pula waktu menaikkan atau menurunkan
penumpang semua berada di jalur kiri. Karena itu penumpang di Indonesia
jika ingin turun dari kendaraan umum, biasanya mereka bilang `Kiri Pak
Sopir !`. Hal ini berbeda sama sekali dengan apa yang berlaku di Arab
Saudi, semua pengguna jalan termasuk waktu menaikkan maupun menurunkan
penumpang berada di jalur sebelah kanan jalan. Demikian pula waktu
menaikkan maupun menurunkan penumpang, mereka wajib menepi ke sebelah
kanan jalan. Apa jadinya jika tradisi lalu-lintas di negeri sendiri ini
tetap `kita pertahankan dan kita bawa` saat kita berada di Arab Saudi?
Sebuah features yang dimuat di sebuah surat kabar Arab Saudi (1999)
pernah penulis baca: `Tingginya frekwensi kecelakaan lalu-lintas yang
menimpa sopir pemula asal Indonesia, diduga karena perbedaan rambu-rambu
lalu-lintas yang berlaku di Arab Saudi. Sementara kecelakaan yang
menimpa warga pribumi Saudi, umumnya menimpa remaja usia 15-25 tahun
disebabkan ugal-ugalan`.
9. Ada kesan, pandangan orang Saudi terhadap warga negara Indonesia agak
`stereotif`. Diantara bangsa-bangsa yang datang berkunjung ke Saudi
Arabia apapun motif dan tujuannya, orang-orang asal Indonesia termasuk
yang paling mudah diidentifikasi, baik dari segi fisik (sebagaimana
umumnya orang Asia Tenggara, orang Indonesia termasuk kelompok bangsa
yang berfisik tidak tinggi dan tidak besar), segi pakaian maupun cara
berjalan. Mungkin karena begitu banyaknya saudara-saudara kita yang
muqim di Saudi baik sebagai TKI maupun TKW, maka kesan pukul rata
(generalisasi) itu tidak jarang menimpa saudara kita jama`ah haji.
Karena itu tidak usah dimasukkan di dalam hati jika suatu ketika ada di
antara kita yang `disangka TKI/TKW` dan merasa kurang `dihargai` sebagai
tamu Allah oleh orang Saudi ketika kita sedang di Arab Saudi, terutama
di saat kita berjalan-jalan tanpa kostum atau identitas jama`ah haji.
10. Bagi orang Saudi, rumah betul-betul menjadi bagian privacy yang tak
semua orang bisa mengakses ke dalam dengan mudahnya, sebagaimana
kebiasaan kita di Indonesia. Desain rumah yang umumnya `hanya` berbentuk
segi empat bertingkat seolah-olah menggambarkan bangunan sebuah benteng
yang sulit ditembus. Faktanya memang benar, setiap rumah selalu ditutup
dengan pagar tembok tinggi, dengan pintu gerbang bisa berlapis-lapis.
Apa yang ada di balik tembok adalah sebuah privacy yang tidak boleh
dikonsumsi oleh publik. Karena itu saya menyarankan untuk tidak
tengak-tengok atau tolah-toleh mengamati pintu di depan rumah orang
Saudi atau sekedar melihat-lihat bangunan bagian atas. Sebab, umumnya
mereka sangat tidak respek dengan perilaku seperti ini, bisa jadi mereka
mengira kalau orang itu adalah `harami` alias `maling` atau penculik
yang sedang mengintai mangsa.
11. Tak lama setelah saya muqim di Mekkah, suatu sore saya
berjalan-jalan di kawasan pertokoan di Mekkah dengan seorang kawan
laki-laki dari Indonesia (asal Gondanglegi - Malang). Sebagaimana
kebiasaan di Indonesia saya dan kawan saya berjalan bergandeng tangan
sambil melihat-lihat barang yang ada di sepanjang pertokoan tersebut.
Begitu melintasi salah satu toko yang dijaga oleh orang Arab, tiba-tiba
kami ditegur si penjaga toko: `Isy fak inta ya walad !...inta luthy
walla eh,....haza aib, ya walad...` (apa yang kau lakukan itu,
nak...kamu homo apa bagaimana? Itu aib..). Wah...saya baru tahu,
ternyata bergandengan tangan dengan sesama jenis di Saudi itu termasuk
`aib` menurut mereka, sebab bisa dianggap sebagai pasangan homo, tetapi
jika yang bergandengan tangan itu berlainan jenis (sebagaimana yang
pernah saya lihat) ternyata biasa-biasa saja, sebab `diduga` itu
pasangan suami istri.
12. Busana orang Saudi hampir semua sama. Mereka semua memakai pakaian
putih yang biasa disebut `tsaub` dengan sorban motif kotak-kotak kecil
berwarna putih-merah plus diikat dengan `igal` di kepala. Performance
orang Saudi yang demikian wibawa seringkali membuat orang-orang
Indonesia yang baru melihat atau mengenalnya menjadi ciut nyali, minder,
kurang percaya diri bahkan tak jarang yang menjadi takut, sehingga
menimbulkan adanya semacam jarak pemisah yang membatasi dalam pergaulan.
Akibat berikutnya yang biasanya menimpa adalah adanya perasaan rendah
diri di dalam perasaan orang-orang Indonesia ketika berhadap-hadapan
dengan orang Saudi. Hal semacam ini seharusnya tidak perlu terjadi,
mengingat tak ada yang membedakan antara Arab maupun bukan Arab, kecuali
hanya taqwanya. Saya menduga, kultur Jawa yang melekat kuat
mengiternalisasi di dalam pribadi orang-orang kita kebanyakan, yang
biasanya terkenal sebagai orang yang nriman, ngalah, dan rendah hati
memberi andil yang kuat terhadap munculnya perasaan rendah diri di
hadapan bangsa lain seperti ini. Dalam kasus-kasus tertentu kelemahan
seperti ini justru `dimanfaatkan` oleh oknum orang Saudi untuk
mem-pressure, menganiaya bahkan memperbudak saudara-saudara kita di
Saudi. Idealnya kita tetap harus merasa berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah, dengan tetap menjunjung tinggi etika pergaulan global yang
egaliter dan jauh dari sifat arogan.
13. Sesungguhnya di berbagai tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji
(seperti di Mina, Arafah apalagi di Haram) telah dipasang tulisan
larangan keras mengambil foto. Namun umumnya, para jama`ah haji
lebih-lebih saudara-saudara kita jama`ah Haji asal Indonesia, selalu
berusaha dengan cara mencuri-curi mengabadikan momentum-momentum
tersebut dengan camera dgtl, handycam, HP maupun foto. Alasan pelarangan
tersebut, tak lain karena hal-hal semacam itu sangat berpotensi
mengurangi keikhlasan di dalam melakukan ibadah haji. Oleh karenanya,
menjadi tugas kita bersama untuk menanamkan pemahaman bagi
saudara-saudara kita jama`ah calon hati, agar hati betul-betul harus
terjaga, agar semua itu tidak menjerumuskannya ke dalam perilaku `riya``
Alhasil, aspek pengenalan dan pemahaman terhadap budaya masyarakat
Arab Saudi yang sesungguhnya tidak terkait langsung dengan rukun dan
wajib haji merupakan elemen penting yang menjadi pendukung terlaksananya
kesempurnaan ibadah haji. Semakin kita memahami budaya/tradisi
masyarakat Arab tempat kita bertamu ke `baitullah` idealnya akan semakin
berpengaruh terhadap kenyamanan, ketenangan dan akhirnya kekhusu`an
ritual haji kita yang berujung pada tercapainya haji mabrur. Amin.
Wallahu Waliyyuttaufiq
sumber : mihrabqolbi.com